Air Sungai Yang Tercemar

Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015 hampir 68 persen atau mayoritas mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat.
Penilaian status mutu air sungai itu mendasarkan pada Kriteria Mutu Air (KMA) kelas II yang terdapat pada lampiran Peraturan Pemerintah mengenai Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air atau PP 82/2001. Berdasarkan kriteria tersebut sekitar 24 persen sungai dalam status tercemar sedang, 6 persen tercemar ringan dan hanya sekitar 2 persen yang masih memenuhi baku mutu air.
Apabila dilihat perkembangan dari tahun sebelumnya, mutu air sungai yang tercemar berat mengalami penurunan. Di tahun 2014 tak kurang ada 79 persen sungai statusnya tercemar berat. Seiring dengan penurunan tersebut, persentase sungai yang dalam status tercermar sedang dan ringan otomatis mengalami kenaikan di tahun 2015.
Kendati sungai yang masuk kategori tercemar berat mengalami penurunan, namun persentasenya masih sangat tinggi. Hal ini terutama terjadi di sungai-sungai yang terletak di wilayah regional Sumatera (68 persen), Jawa (68 persen), Kalimantan (65 persen) dan Bali Nusa Tenggara (64 persen). Sementara itu, persentase sungai yang tercemar berat di wilayah regional Indonesia Timur, yakni di Sulawesi dan Papua relatif lebih kecil, yakni 51 persen.
Trend Status Mutu Air Sungai di Indonesia (Litbang Kompas – Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan 2016)
Data di atas menunjukkan bahwa kualitas air sungai di semua lokasi di negeri ini sebagian besar dalam kondisi tercemar berat. Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat air sungai hingga saat ini merupakan sumber utama air bersih yang dikonsumsi mayoritas penduduk di Indonesia. Sumber air yang kualitasnya buruk akan mengancam kondisi kesehatan masyarakat maupun makhluk hidup lain yang mengkonsumsi air tersebut.

Limbah domestik
Menurut Budi Kurniawan, Kasubdit Inventarisasi dan Alokasi Beban Pencemaran Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, sumber utama pencemar air sungai di Indonesia sebagian besar berasal dari limbah domestik atau rumah tangga. “Selama ini kebanyakan masyarakat salah mengira bahwa sumber utama pencemar sungai adalah limbah industri, padahal bukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sungai-sungai yang dijadikan titik pantau, limbah domestik yang paling berperan sebagai pencemar air sungai,” kata Budi.
Badan Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Timur pekan lalu (21/4/2016) melalui Kepala Sub Bidang Komunikasi Dyah Larasayu dalam sebuah diskusi Festival Brantas mengatakan bahwa kondisi air sungai Brantas sekarang ini dalam status waspada. Pencemaran airnya dalam batas ambang mengkhawatirkan. Limbah domestik diyakini sebagai penyumbang terbesar pencemaran air Sungai Brantas. Limbah domestik itu di antaranya tinja, bekas air cucian dapur dan kamar mandi, termasuk sampah rumah tangga dibuang ke sungai. Selain itu, penyebab pencemaran air Sungai Brantas adalah limbah peternakan, industri, limbah pertanian.
Akhir tahun lalu, tidak berbeda dengan yang terjadi di Sungai Brantas, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Atih Witartih menyatakan, limbah domestik yang dibuang ke Sungai Citarum merupakan yang terbanyak, jika dibandingkan limbah lain seperti limbah industri, pertanian dan peternakan. Limbah domestik sumbangan dari rumah tangga itu mencapai 70 persen. Limbah domestik memberikan kontribusi terbesar terhadap pencemaran Sungai Citarum.
Kedua contoh di atas menunjukkan bahwa limbah domestik atau rumah tangga yang umumnya berupa tinja, deterjen bekas cucian dapur maupun pakaian hingga sampah, baik organik maupun anorganik, menjadi penyumbang terbesar pencemaran pada air sungai. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 mengungkapkan, ada 26 persen atau 16 juta rumah tangga di Indonesia yang tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar dan langsung membuang limbah tinja ke lingkungan (sungai, kebun, dan lain-lain). Sebanyak 74 persen rumah tangga menggunakan jamban, dan 14 persen di antaranya tidak dilengkapi dengan tangki septik. Setiap hari diperkirakan sebanyak 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik urine dibuang ke sumber air yang menyebabkan75 persen sungai tercemar berat dan 70 persen air tanah di perkotaan tercemar bakteri tinja.

Penurunan kualitas air
Limbah domestik, limbah peternakan maupun industri yang dibuang ke sungai berpengaruh terhadap penurunan kualitas air. Parameter penurunan kualitas air tersebut umumnya berdasarkan kandungan fecal coli, total coliform, BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand) dan H2S yang terdapat di dalam air sungai. Limbah tinja berperan dalam meningkatkan kadar fecal coli atau bakteri E coli dalam air. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta di beberapa wilayahnya kandungan E coli melebihi ambang batas tak hanya di sungai melainkan hingga ke air sumur di permukiman penduduk. Hal ini sangat membahayakan kesehatan penduduk dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Air sungai yang tercemar oleh sampah organik biasanya akan berbau tidak sedap. Ini disebabkan karena naiknya kadar BOD. Kebutuhan oksigen oleh mikroorganisme untuk mengurai sampah organik akan meningkat jika volume sampah meningkat. Hal ini akan meningkatkan kadar BOD dalam air. Jika kadar BOD tinggi atau melebihi ambang batas, dampaknya adalah tumbuhan atau hewan-hewan yang tumbuh di air akan sulit hidup bahkan akan mati karena kekurangan oksigen.
Untuk mengatasi pencemaran air sungai yang berasal dari limbah domestik, agar kualitas air bisa memenuhi standar baku mutu air, perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran. Langkah-langkah itu antara lain mengubah kebiasaan membuang sampah di sungai, memantau kualitas air sungai maupun membangun instalasi pengolahan air limbah rumah tangga (IPAL).
Dalam hal IPAL rumah tangga, Indonesia masih sangat ketinggalan dibandingkan negara-negara lain. “Jangankan dibandingkan dengan Thailand atau Malaysia, dibandingkan dengan negara kecil seperti Kamboja saja kita masih kalah dalam hal jumlah dan volume fasilitas instalasi pengolahan air limbah. Padahal jumlah penduduk kita jauh lebih besar,” kata Budi. Karena itu, pembangunan unit IPAL menjadi salah satu program Kementerian LHK untuk mengatasi pencemaran air sungai karena limbah domestik.
Tidak mudah untuk mengubah kebiasaan penduduk untuk tidak membuang sampah atau limbah rumah tangga ke sungai-sungai. Namun, hal itu mutlak dilakukan jika tidak ingin sumber utama air penduduk menjadi semakin tercemar dan tidak layak dikonsumsi. Jika hal itu terjadi, maka kualitas hidup masyarakat akan semakin rendah.

Sumber : https://nationalgeographic.grid.id/